Hi! Hari ini mau bikin short story nih judulnyaaa: Secret Admirer. Langsung aja!
Selamat membaca :-) Enjoy, guys :-)
Kelas sudah tampak penuh. Namun, Lotso masih belum kelihatan. Di kelas, sesekali aku memandang ke bangku milik Lotso yang berada di sebelahku.
Lotso ke mana, sih? tanya aku dalam hati.
Sebuah kekhawatiran terbesit dalam pikiran ku. Sejak hari itu, di mana hatiku hancur memandang Rizky yang nyata-nyata nya memeluk Ivo di depannya, sejak saat itu aku merasa Lotso adalah laki-laki yang paling baik, bahkan super baik. Beruntung, saat itu Lotso sigap menarik tangan ku dan setengah menyeretnya menuju kantin dengan airmata yang menggenang di pelupuk mata. Jika tak ada Lotso, entah apa yang akan terjadi, mungkin Rizky akan bertanya-tanya melihatku menangis saat itu. Menangisi sesuatu yang nggak boleh Rizky tau.
"Lotso, nggak masuk ya, Mey?" tanya Inez yang tiba-tiba duduk di sampingku. Ya, di bangku yang biasa ditempati Lotso.
Aku mengangkat bahu.
"Kamu kenapa, Mey?" tanya Inez khawatir.
"Heh?" jawab aku seolah tersadar Inez sedang bertanya padanya.
"Kamu ngelamunin apa sih, Mey?" Inez mulai marah. "Kok kayaknya kamu nggak niat banget jawab pertanyaanku."
Aku nyengir kuda. "Hehehe....maaf ya Nez! Bukannya bengong, emang lagi nggak fokus aja."
"Yee...sama aja kali!"
"Minggir dong, Nez! Aku mau duduk, nih!" Kedatangan Lotso tak disadari oleh Inez maupun aku.
"Kirain kamu nggak masuk, So!" sahut Inez kemudian bangkit dari bangku Lotso dan kembali ke bangkunya.
Sepeninggal Inez, aku dan Lotso sama-sama terdiam. Kita berdua terlihat sangat canggung.
Hingga akhirnya bel sekolah berdentang, keduanya masih tetap diam.
"Selamat pagi anak-anak!" sapa Pak Nugi, guru Matematika di kelas ku.
"Pagi, Pak!!!" jawab anak-anak dengan koor.
"Buka buku paket kalian halaman 28!" perintah Pak Nugi. "Hari ini kita akan membahas mengenai Gradien."
Seisi kelas melaksanakan perintah guru itu.
"Di antara kalian, ada yang tahu, apa itu Gradien?" tanya Pak Nugi.
Lotso mengangkat tangannya.
"Ya, kamu!" tunjuk Pak Nugi pada Lotso.
"Gradien itu sama saja dengan kemiringan pak!" jawab Lotso dengan pasti.
"Ya, kamu benar!"
Aku memandang ke arah Lotso dan dia membalasnya dengan senyuman.
***
Saat istirahat, aku masih terpekur di bangku ku. Aku tak beranjak kemana pun. Rizky juga tidak mendatanginya seperti biasa, seperti saat Ivo belum kembali ke sekolah ini. Sedangkan Lotso, sejak lonceng sudah berdentang dia kabur entah kemana.
"Nggak istirahat, Mey?" tanya Inez.
Aku menggeleng lemah.
"Nunggu Rizky, yaah?"
Aku hanya mengangkat bahu tanpa bersuara.
"Kamu kenapa sih, Mey?"
Lagi-lagi aku hanya menggeleng, kali ini aku tersenyum pada Inez.
"Ke kantin aja yuk, Mey!" Inez menarik tangan ku dan aku tak menolaknya. Kita berjalan menuju kantin.
Saat melewati kelas Rizky, mataku menangkap sosok yang aku rindukan, Rizky. Aku melihat Rizky yang asyik berduaan dengan seseorang di sampingnya. Aku tak bisa melihat jelas siapa orang itu, namun instingku mengatakan orang itu adalah Ivo.
Ivo.... ya pasti itu Ivo. batin ku yang masih sajak fokus pada Rizky.
Duggg!
Karena terlalu fokus pada Rizky, aku tidak melihat jalan. Hingga akhirnya aku bertabrakan dengan seseorang.
"Aduh......sakit!!!!" erang ku.
"Kamu gapapa, Mey?" tanya Inez melihat pelipis ku yang sedikit memar.
"Mey, kalo jalan lihat depan, dong! Sakit ya?" tanya Lotso sambil memeriksa pelipis ku lalu mengajak ku ke ruang UKS.
Ini adalah kedua kalinya aku bertabrakan dengan Lotso dengan permasalahan yang sama. Rizky.
Aku cemberut, "nggak papa kok, So ntar juga sembuh," tolak ku sambil sesekali melirik Rizky dengan ujung matanya.
"Tapi tetap harus diobatin, Mey! biar nggak makin memar."
Aku tak menjawab.
"Mey, kamu dengar aku, kan?!" Lotso membuyarkan lamunan ku.
"Hehh....iya....Apaa?" kataku terbata.
Lotso hanya tersenyum melihatnya.
"Kamu kenapa sih, Mey?" bisik Inez bertanya. "Dari tadi aku lihat kok nggak konsen, jelas-jelas Lotso segede itu ditabrakain juga,"
Aku memutar pandangan pada Inez yang berada di sebelahku dengan kening berkerut.
"Lain kali, kalo jalan lihat-liuhat ya!" pesan Lotso dengan mengacak-acak rambutku, lalu pergi.
***
Aku melangkah gontai. Hatiku terasa dicabik-cabik. Belum cukup Rizky menyakitiku dengan bermesraan di dalam kelas di depan matanya, kini ia tambah dengan kebersamaannya bersama Ivo di kamar yang selama ini hanya aku satu-satunya cewek yang diperbolehkan masuk.
"Semua udah berubah, Rizky udah menemukan seseorang yang ia sayang. Dan orang itu bukan aku." Aku duduk di sebuah ayunan di taman kompleks rumahku.
Aku menghela napas panjang. Aku menutup mata sembari menghirup udah malam yang mulai dingin.
Sudah saatnya aku melupakan Rizky, janjiku dalam hati. Aku tersenyum. Perlahan, aku membuka mataku. Samar aku melihat sosok yang sedang berdiri di depan mataku sambil tersenyum.
"Lotsooo!!"
"Hai, Mey!" sapa Lotso dengan ramah.
"Hai..." balasku ragu. "Ngapain di sini, So?" tanya ku penasaran.
Lagi-lagi Lotso hanya tersenyum, kemudian duduk di ayunan di samping ku.
"Niatnya sih tadi mau main ke rumah kamu, Mey!" jawabnya enteng.
Aku mengerutkan kening "ke rumah ku?"
Lotso mengangguk. "ya... ke rumah kamu" matanya melebar meyakinkan. "Tiba-tiba aku kangen kamu!" jelasnya.
Sontak aku menoleh dan memandangnya tak percaya. Mata kita saling bertemu, saling bertatap. Aku dapat merasakan desiran lembut di hatinya ketika melihat mata bening Lotso dan senyumnya yang mempesona.
"Nggak usah bercanda, So!" pintaku dengan tertawa kecil.
"Aku nggak bercanda, Mey," balas Lotso yang masih mengalihkan pandangannya padaku. "Aku serius. Aku beneran kangen sama kamu, Mey!"
"Kamu kok diem, Mey?" tanya Lotso lirih.
Aku tersenyum malu. "Aku nggak tahu harus ngomong apa, So."
"Nggak usah dipikirin, Mey!"
Kening ku berkerut. "Maksud kamu?"
"Aku memang suka sama kamu. Sejak awal kita bertemu saat pertama kali aku menginjakan kaki ke kelas kita. Kamu pasti masih mengingatnya, bukan?"
Aku mengerjap.
"Tapi aku nggak pernah mengharap balasam darimu?" Lotso menatapku sekilas. "Aku bahagia dengan perasaank, aku bahagia bisa melihatmu selalu tersenyum, selalu tertawa, nggak murung seperti sekarang," lanjutnya.
"Aku nggak mau egois, Mey. Aku tahu, perasaan nggak bisa dipaksain, aku hanya ingin agar semuanya mengalir apa adanya. Dan untuk perasaan kamu ke aku, biar Tuhan yang menentukan!" Lotso mengayunkan ayunannya perlahan.
"Aku tahu apa yang membuatmu akhir-akhir ini terlihat murung dan nggak bersemangat. Satu yang pasti Mey, life must go on!"
***
Esok paginya di sekolah. "Lotsoooo....." seru ku di koridor sekolah.
Lotso menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang, "Ya?" jawabnya.
Aku setengah berlari menghampiri Lotso. "Makasih yang semalem," ucapku lirih. Kali ini wajahku terlihat lebih segar dan bersemangat.
"Daaann....."
"Dan apa, Mey?" Lotso mengangkat alisnya.
"Dan kejujuran kamu, tentang yang kamu rasakan," aku tersenyum kecil. "Tapi untuk saat ini, seperti kata kamu, terkadang manusia sendiri sulit untuk bisa membaca perasaannya, begitu juga aku. Aku masih nggak tahu perasaanku seperti apa. Kita serahkan saja pada waktu, cepat atau lambat, semuanya akan terungkap."
"Aku paham maksud kamu kok, Mey!"
Aku tersenyum, lalu kita berjalan beriringan menuju kelas kita.
Lalu, Lotso mengacak rambutku lembut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar